Dari dulu saya bertanya-tanya, apa tujuan diadakannya pulangan untuk santri? Kenapa santri harus pulang, toh pada akhirnya mereka harus kembali lagi ke penjara suci.

Mungkin dari beberapa pembaca beropini bahwa tujuan santri dipulangkan adalah menghilangkan stres, refreshing dari kejenuhan setelah berbulan-bulan mengalami segala cobaan, penderitaan dan tetek bengek hal yang biasa dialami oleh pencari ilmu, seperti contoh makan seadanya, jam tidur yang tidak karuan, kiriman pas-pasan, setoran kitab yang tak kunjung hafal, takziran yang setiap harinya menguras mental atau beberapa santri yang mungkin โ€˜overthinkingโ€™ karena takut si โ€˜diaโ€™ sudah digondol kucing duluan (๐ซ๐ž๐: ๐๐ข๐ญ๐ข๐ค๐ฎ๐ง๐ ).

Tidak ada yang salah atau sah-sah saja dengan โ€˜mengada-adaโ€™ pendapat tersebut, karena hal ini bersifat relatif, artinya bukan kebenaran absolut, tidak ada yang benar atau yang salah.

Apakah sesederhana itu dari pihak pesantren memutuskan pulangan santri dengan tujuan โ€˜refreshingโ€™ yang mungkin di telinga kita terdengar remeh? Memulangkan santri adalah sesuatu hal yang beresiko tinggi. Kenapa saya anggap sebagai resiko tinggi? Karena santri diberikan peluang untuk melakukan hal atas kehendak nafusnya sendiri. Jika sebelumnya di pesantren mereka harus tunduk dan patuh terhadap peraturan, entah itu yang tertulis atau tidak, namun di luar pesantren, mereka bisa saja โ€˜barbarโ€™. Sadar atau tidak kita disadari, mereka pulang dengan membawa nama almamater, nama baik dari pesantren, jadi secara tidak langsung, nama pesantren dibuat modal sebagai ajang taruhan oleh santri.

Bayangkan jika ada seorang santri dari salah satu pesantren melakukan hal negatif seperti contoh tindakan kriminal, maka mungkin akan timbul kecenderungan anggapan atau sesuatu yang bersifat prejudis (prasangka) dari masayarakat tentang apa lembaga atau pesantren yang โ€˜saat iniโ€™ mereka tempuh. Akan muncul suatu stigma atau pandangan bersifat โ€˜negatifโ€™ pada pesantren, seperti salah satu contoh berikut:

โ€œ๐‘‡๐‘–๐‘‘๐‘Ž๐‘˜ โ„Ž๐‘’๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘› ๐‘™๐‘Ž๐‘”๐‘–, ๐‘˜๐‘Ž๐‘› ๐‘‘๐‘– ๐‘๐‘’๐‘ ๐‘Ž๐‘›๐‘ก๐‘Ÿ๐‘’๐‘› ๐ด ๐‘š๐‘’๐‘š๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘ก๐‘’๐‘š๐‘๐‘Ž๐‘ก๐‘›๐‘ฆ๐‘Ž ๐‘œ๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘›๐‘Ž๐‘˜๐‘Ž๐‘™.โ€ย 

Kenapa prasangka masyarakat hanya berlaku pada orang yang menyandang status santri? Kenapa jika bukan santri mereka anggap itu hal yang biasa?

Alasannya karena paradigma yang telah terpupuk dan tertanam dalam pola pikir masyarakat bahwa pesantren adalah sesuatu yang suci. Dari mana hal tersebut terbentuk? dari hal berikut ini:

๐‘ƒ๐‘’๐‘ ๐‘Ž๐‘›๐‘ก๐‘Ÿ๐‘’๐‘› ๐‘–๐‘‘๐‘’๐‘›๐‘ก๐‘–๐‘˜ ๐‘‘๐‘’๐‘›๐‘”๐‘Ž๐‘› ๐‘Ž๐‘”๐‘Ž๐‘š๐‘Ž
๐ด๐‘”๐‘Ž๐‘š๐‘Ž ๐‘Ž๐‘‘๐‘Ž๐‘™๐‘Žโ„Ž ๐‘ ๐‘’๐‘ ๐‘ข๐‘Ž๐‘ก๐‘ข ๐‘Ž๐‘ก๐‘Ž๐‘ข โ„Ž๐‘Ž๐‘™ ๐‘ฆ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘ ๐‘ข๐‘๐‘–

Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pesantren adalah sesuatu yang suci, dimana tempat orang baik dan tak punya dosa berkumpul di dalamnya, dengan arti lain akan menimbulkan suatu pernyataan yang bersifat universal (semua) yaituย  โ€œ๐‘†๐‘’๐‘š๐‘ข๐‘Ž ๐‘œ๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘‘๐‘– ๐‘๐‘’๐‘ ๐‘Ž๐‘›๐‘ก๐‘Ÿ๐‘’๐‘› ๐ด ๐‘Ž๐‘‘๐‘Ž๐‘™๐‘Žโ„Ž ๐‘œ๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘ฆ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘๐‘Ž๐‘–๐‘˜โ€. Sehingga apabila ada hal yang mugkin kontradiksi dengan sifat yang disifati oleh masyarakat terhadap pesantren, maka akan terjadi suatu pengingkaran bahwa โ€œ๐‘†๐‘’๐‘š๐‘ข๐‘Ž ๐‘œ๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘‘๐‘– ๐‘๐‘’๐‘ ๐‘Ž๐‘›๐‘ก๐‘Ÿ๐‘’๐‘› ๐ด ๐‘ก๐‘–๐‘‘๐‘Ž๐‘˜ ๐‘Ž๐‘ก๐‘Ž๐‘ข ๐‘๐‘ข๐‘˜๐‘Ž๐‘›๐‘™๐‘Žโ„Ž ๐‘œ๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘๐‘Ž๐‘–๐‘˜โ€ artinya semua orang di pesantren adalah orang jahat.ย 

Seperti yang pembaca ketahui bahwa pengingkaran terhadap sifat pesantren oleh masyarakat di atas tidaklah tepat. Karena secara aturan logika, pengingkaran atau negasi (๐ซ๐ž๐: ๐ข๐ฌ๐ญ๐ข๐ฅ๐š๐ก ๐๐š๐ฅ๐š๐ฆ ๐ฅ๐จ๐ ๐ข๐ค๐š) dari sesuatu yang bersifat universal (semua) adalah eksistensial (ada / beberapa), kebalikan dari ๐ฌ๐ž๐ฆ๐ฎ๐š adalah ๐š๐๐š. Jadi seharusnya jika seseorang berfikir bahwa โ€œ๐‘†๐‘’๐‘š๐‘ข๐‘Ž ๐‘œ๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘‘๐‘– ๐‘๐‘’๐‘ ๐‘Ž๐‘›๐‘ก๐‘Ÿ๐‘’๐‘› ๐ด ๐‘Ž๐‘‘๐‘Ž๐‘™๐‘Žโ„Ž ๐‘œ๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘ฆ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘๐‘Ž๐‘–๐‘˜โ€, lalu kemudian terjadi kontradiksi dengannya, maka dengan benar dan bijak seseorang mengingkarinya dengan pernyataan โ€œ๐‘ก๐‘–๐‘‘๐‘Ž๐‘˜ ๐‘๐‘’๐‘›๐‘Ž๐‘Ÿ ๐‘—๐‘–๐‘˜๐‘Ž ๐‘ ๐‘’๐‘š๐‘ข๐‘Ž ๐‘œ๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘‘๐‘– ๐‘๐‘’๐‘ ๐‘Ž๐‘›๐‘ก๐‘Ÿ๐‘’๐‘› ๐ด ๐‘Ž๐‘‘๐‘Ž๐‘™๐‘Žโ„Ž ๐‘œ๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘ฆ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘๐‘Ž๐‘–๐‘˜โ€ artinya di pesantren itu ada orang baik dan juga ada orang jahat.

Jika kita analogikan dengan suatu pohon, maka pohon adalah pesantren, sedangkan santri adalah buahnya, pohon akan terus berusaha semaksimal mungkin untuk menyalurkan nutrisi agar nantinya buah yang dihasilkan berkualitas, sama halnya dengan pesantren, pesantren memiliki visi dan misi untuk memperbaiki akhlak dan keilmuan santri, agar santri menjadi manusia yang berkarakter, tentunya karakter yang kompatibel dengan norma agama dan norma masyarakat. Ketika musim panen, apakah kita bisa memastikan bahwa kemungkinan semua buah akan masak dengan baik, artinya tidak ada buah yang busuk? Apakah semua santri akan seratus persen baik, artinya tidak ada santri yang masuk dalam kategori anomali?

Kembali lagi pada topik permasalahan, apa tujuan sebenarnya diadakannya pulangan untuk santri? Saya tidak tahu pastinya, karena sudah saya jelaskan sebelumnya bahwa ini bersifat relatif. Namun disini saya akan jabarkan opini pribadi bahwa pulangan adalah semacam โ€˜trainingโ€™ atau uji coba. Apa maksudnya? Saya bagi proses mencari ilmu atau nyantri menjadi tiga fase berikut:ย ย 

๐Ÿ. ๐‘ญ๐’‚๐’”๐’† ๐’…๐’Š ๐’‘๐’†๐’”๐’‚๐’๐’•๐’“๐’†๐’ adalah fase dimana kita dididik, dibekali dengan berbagai macam teori (ilmu).

๐Ÿ. ๐‘ญ๐’‚๐’”๐’† ๐’‘๐’–๐’๐’‚๐’๐’ˆ๐’‚๐’ adalah fase dimana sebagai uji coba (praktek), bagaimana seorang santri dapat mengaplikasikan atau menerapkan apa yang dia peroleh dari fase ke 1. Fase ini bersifat uji coba alias masih bersifat simulasi, artinya kesalahan yang diperbuat mungkin masih bisa ditolerir.

๐Ÿ‘. ๐‘ญ๐’‚๐’”๐’† ๐’ƒ๐’†๐’“๐’‰๐’†๐’๐’•๐’Š ๐’Ž๐’๐’๐’…๐’๐’Œ (terjun ke masyarakat), ini adalah kehidupan yang sesungguhnya dimana tindak tanduk dari seorang santri akan dipandang oleh masyarakat. Semakin tinggi tingkat kegagalan di fase ke 2, maka semakin rendah presentase keberhasilan pada fase ini, sebaliknya semakin rendah tingkat kegagalan di fase ke 2, maka semakin tinggi santri akan memperoleh keberhasilan di fase ini.

Ketiga fase di atas berkesinambungan satu sama lain. Jika seorang santri ingin sukses di fase ke 3, maka dia harus baik di fase ke 2, jika dia ingin memperoleh banyak poin di fase ke 2, maka dia harus optimalkan di fase ke 1.

Sudahkah pembaca mengambil kesimpulan dari tujuan pulangan santri berdasarkan penjabaran di atas?

Intinya, untuk para santri, bijaklah kalian untuk mengisi masa liburan yang kita sebut dengan masa training (uji coba), gunakanlah masa training sebagai tolak ukur sejauh mana anda menguasai teori yang diperoleh dari pesantren, entah itu masalah akhlak atau ubuddiyah. Jika itu terasa sulit untuk dijalankan, maka ingatlah pepatah bijak, ๐‘ฑ๐’Š๐’Œ๐’‚ ๐’‚๐’๐’…๐’‚ ๐’•๐’Š๐’…๐’‚๐’Œ ๐’ƒ๐’Š๐’”๐’‚ ๐’Ž๐’†๐’๐’‹๐’‚๐’…๐’Š ๐’—๐’‚๐’Œ๐’”๐’Š๐’, ๐’Ž๐’‚๐’Œ๐’‚ ๐’‹๐’‚๐’๐’ˆ๐’‚๐’๐’๐’‚๐’‰ ๐’Ž๐’†๐’๐’‹๐’‚๐’…๐’Š ๐’—๐’Š๐’“๐’–๐’” ๐’„๐’๐’“๐’๐’๐’‚.ย ย 

Sekian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *